***SENYUMAN
BIDADARI DI PANGKUANKU***
OLEH
NURRAHMAH
Pagi
yang cerah walau tanpa secangkir kopi di hadapan, kepulan asap kehidupan telah
membaur di ambang ambang kesunyian. hari
ini Nyanyian burung terdengar lebih nyaring di dahan dahan yang bergoyang melambai, begitu ramai. Aku nur
rahmah hanya seorang bocah yang pada hari ini sedang sibuk dengan hatiku
menebak2 apa yang akan terjadi
dalam hidupku. Hanya hari ini, sebab perasaan
tak enak terus saja menyelimuti hatiku sedari mataku terbuka kembali
melihat dunia. Seakan ada seekor
gagak yang datang pada ku membawa secarik kabar yang ditulis di dalamnya adalah
sebuah tangisan terkhusus untukku
hari ini. Jangan pernah tanyakan pada ku kapan perisTiwa ini terjadi yang pasti aku telah mengalaminya dan tak
ingin mengingatnya lagi. Aku terlalu takut dengan kabar itu.
Aku duduk di kursi belajarku tepat di samping jendela berusaha menghilangkan rasa yang berserabut di hatiku. Siapa tahu dengan duduk sekejap dapat membuatku lebih tenang. Aku sedang merenung ke luar jendela melihat hari yang berawan mendung.
Pintu di belakang ku berderit halus. Aku tahu ada yang masuk ke kamar, tapi malas sekali aku menghiraukannya. Aku hanya sedikit melirik ke depan melihat cermin dimeja belajar. Cermin besar itu sengaja di tempelkan didinding dekat meja belajar agar tidak terlalu memakan ruang mengingat kamarku yang sempit. Dari pantulan cermin yang berhadapan langsung ke pintu aku dapat melihat seseorang tengah berjalan mendekat padaku. Berdetak langkahnya Tampa bimbang namun sangat hati-hati. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan benar. Aku lupa bahwa sedari tadi aku menangis tersedu-sedu. Makin ia mendekat makin rasanya aku akan kehilangan sesuatu. Tak berani aku memandangnya. Hatiku kian tak karuan. Tapi aku tak ingin melukai hatinya, sebisa mungkin aku tahan tangis ku. Kutarik senyumku.
Entah wewangian apa yang dia pakai, tapi benar-benar harum. Begitu tenang menciumnya. Sampai pada akhirnya dia duduk di kasur dibelakang kursi tempat ku duduk. Aku berusaha melihat wajahnya lagi dari cermin. Tetap saja kabur padahal tangis ku sudah reda. Seakan cermin itu tak mampu memantulkan wajah berserinya. Aku bisa melihat baju putih yang ia pakai begitu bersih sampai terlihat kebiru-biruan.
Lembut ia meraih pundak ku. Mengelus rambutku yang masih berantakan. Disisirnya sampai halus. Tangannya begitu lembut. Aku tahu pasti sekarang dia tengah tersenyum. Cermin mungkin memang tak sanggup memantulkan wajahnya, tapi aku tahu dia adalah orang yang sangat berarti dalam hidupku. Di ikatnya simpul rambutku. Kembali di Elus kepalaku. Dia membisikkan sesuatu pada ku, sangking dekatnya sampai nafasnya terasa lembut di telingaku.
membawaku ke masa kecilku.
Air mataku menetes
lagi.
”adek... Kawani
emak dolan ya Dino Iki.” Akh... Seperti tertusuk duri. Ini ibuku. Ia minta aku temani
dia jalan hari ini.
Aku peluk dia dengan erat, erat sekali. Aku cium kiri kanan pipinya. Begitu halus. Kulihat wajahnya, kerutan di pipinya semakin banyak. Hatiku berdebar.
Segera aku bersiap, aku lupakan bahwa hari ini aku harus ke sekolah aku ambil handuk, mandi. Dia telah menyiapkan sepotong baju untukku. Bersih juga berwarna putih. Aku cari wewangian yang dia pakai biar wanginya sedikit melekat pada ku. Tapi nihil. Aku lupa bahwa ibuku tak punya wewangian seperti itu. Tapi dia memang harum.
Tak banyak percakapan yang terjadi. Kami bersiap pergi dengan sebuah payung hitam di genggamanku.
Sampai
di gang Jawa. Aku ingat jalan ini. Suasana ini seakan sangat sakral. Berjalan
kaki berdua di gang itu bersama ibuku
sementara aku memayunginya. Anehnya jalan ini seperti tak berujung. Sayup sekali
di ujung sana baru terlihat titik yang
sangat terang. Seperti
tanah lapang.
Sepanjang jalan hanya melewati pohon karet. Mulanya pepohonan itu masih jarang dan tercampur dengan pepohonan lain. Makin ke dalam pepohonan karet itu makin rapat. Pohonnya nya pun tinggi2 dan rimbun. Jalanan ini terang walau di kiri kanannya temaram. Gravitasi berat membawaku melihat ke arah kanan. Sebuah gang kecil, di ujungnya terdapat pekarangan makam yang cukup luas.
“ Mak di sana makan Mbah Lanang
sama Mbah wedok kan? Adek rindu Mbah “. Ucapku sedalam
hatiku. Hanya rasa rindu yang tiba-tiba terbesit
dalam pikiran ku.
Sejenak hening
lagi-lagi menguasai.
“Dek adek jangan sedihnya. Adek sayang emakkan?”
“ Mak jangan ngomong
gitu. Tentu adek sayang emak”. Aku menangis
sambil menebak kemana
arah yang ibuku tuju.
Tiba di ujung gang
Terdapat sebuah tanah lapang, tidak
terlihat seperti Padang ataupun perkuburan juga tidak tandus titik tapi ada sebuah galian lubang makam. Di sana aku
bisa menebak apa yang ibu ku inginkan.
terlihat juga orang-orang ramai di sekelilingku mereka mengenakan baju kurung
bersih yang rapi. Ada juga seorang
ustaz dengan sorbannya dan 3 orang yang hanya mereka pakaiannya sedikit
lusuh ditambah sebuah cangkul di pundak mereka. Ya... Mereka penggali makam.
“dek
sini” aku menangis,
ibuku masih tetap
tersenyum, dia mengajakku duduk di depan makam yang
masih hangat baru digali itu.
“Iya mak...”
aku duduk bersimpuh di samping ibuku
Aku
sudah tahu apa yang akan terjadi setelah aku duduk hanya saja aku tak tahu
bagaimana skenarionya.
“
adek maafkan emak ya... Amak Cuma bisa ngajak adek jalan sampai di sini, adik
jadi anak yang sholehah ya. Doakan
bapak... dan nanti doakan emak juga...” . Dengan bahasa Jawanya yang sulit untukku jelaskan. Air mataku mengalir
sangat deras. Ibuku membaringkan kepalanya ke
pangkuanku. Tadi pagi dia yang mengelus rambutku. Saat ini gantian aku
yang mengelus jilbab putihnya.
.. aku rasa tetes demi tetes
air mataku sudah seperti hujan di pipinya.
Aku hanya membisu... Tak dapat aku
jawab lagi kata-katanya selain dengan sebuah anggukan. Ku pimpin dia dengan
istighfar. Ku genggam erat tangannya. Kulihat
wajahnya dia tersenyum seperti tak di dera
sakit yang teramat.
Entahlah bagaimana caranya nya tapi
sekarang aku sudah berada di depan pintu kelas dengan seragam putih abu-abu ku. Berpindah, terbang atau menghilang
akupun tak tahu pasti. Ya aku ingat adalah
wajah-wajah temanku yang saling bertanya nya ada apa dan seseorang yang
tiba-tiba saja berlalu keluar kelas
dengan wajah acuhnya. Aku menangis sebab Dia adalah orang yang juga selalu hadir tepat
disaat aku membutuhkan tempat
untuk menyeka air mataku.
“Ada apa dengan hari ini?”
***
Tepat disaat adzan subuh berkumandang, tersentak aku terbangun dari tidurku, gelap. Air mataku berduyun-duyun jatuh. Sebab sedari tadi cairan itu berkumpul di antara rongga mata dan hidung ku. Aku terisak sejadi-jadinya. Bibirku tak henti-hentinya berucap “ emak.. emak.. emakk...” berkali-kali aku beristighfar.
Aku memang bukanlah tipe orang yang pandai terlihat sedih di depan orang lain. Mungkin sebagian orang yang mengalami mimpi seperti ini orang-orang akan segera mencari ibu mereka saat tersentak bangun. Aku agak berbeda. Aku tak bisa tiba-tiba muncul dihadapan seseorang dengan raut wajah penuh air mata. Setelah adzan selesai. Hatiku sedikit lebih tenang. Aku langsung bangun berdiri, berwudhu, salat meskipun pundakku masih bergetar pada salat ku itu. Semoga shalatku diterima Allah meski telah ternoda dengan air mata.
Matahari
sudah terbit dengan sempurna, aku sudah siap dengan seragam dan sarapan pagi
ku. Sebelum berangkat sekolah,
sedalamnya salam aku lakukan. Kucium lekat punggung tangannya. Semoga Allah selalu melindunginya dari
marabahaya, tidak terkecuali untuk semua keluargaku yang sangat berarti
bagiku.
SENYUMAN BIDADARI DI PANGKUANKU
Buku Manajemen Referensi Dengan Mendeley Panduan Untuk Mahasiswa, Guru, Dosen, Peneliti dan Pustakawan
Manajemen Referensi Dengan Mendeley Panduan Untuk Mahasiswa, Guru, Dosen, Peneliti dan Pustakawan
TIPS DAN TRIKS MENGEDIT VIDOE
oleh: Titin Sumarni
|